Selasa, 07 Februari 2012

Pembelajaran ‘’Harus’’ Bermakna


Setiap warga negara Indonesia wajib sekolah selama 9 tahun. Sangat banyak sekali anak-anak bangsa yang bahkan sekolah sampai tingkat S1 bahkan S2 dan S3, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. 

Ketika orang yang di tanya mengapa anda sekolah, pasti menjawab “supaya pandai.” Tapi apakah kita sudah benar-benar pandai? 

Berbagai permasalahan bangsa yang dihadapi saat ini dari mulai masalah KKN, kemiskinan, pertikaian, masalah moralitas dan akhlak dan lain sebagainya, seharusnya membuat kita merenungi makna pendidikan yang kita lalui bertahun-tahun di sekolah.

Anak-anak kita sejak dini sudah mengalami beban yang sangat berat, dari mulai taman kanak-kanak yang seharusnya dinikmati dengan bermain, sudah di bebani dengan drilling calistung. Saat masuk SD, beban kurikulum semakin berat, seberat buku yang di bawa di punggung. Pertanyaannya, apakah makna kepandaian adalah banyaknya hafalan mata pelajaran yang di hafal? 

Belajar dari kehidupan Rasul kita, beliau adalah orang yang tidak bisa membaca. Tapi beliau memiliki akhlak yang luar biasa, sejak kecil beliau sudah di kenal sebagai orang yang jujur dan dapat di percaya. Artinya akhlak seharusnya menjadi fokus yang paling terpenting dalam mendidik anak.

Dari sahabat-sahabat Rasul, kita bisa belajar tentang makna kepandaian yang dimiliki. Abdurahman bin Auf, seorang saudagar yang sukses sejak muda dan beliau adalah orang yang rajin berinfak. Tatkala Rasulullah ingin melaksanakan perang Tabuk. Yaitu sebuah peperangan yang membutuhkan banyak perbekalan. Maka datanglah Abdurrahman bin ‘Auf dengan membawa dua ratus ‘uqiyah emas dan menginfakkannya di jalan allah. Sehingga berkata Umar bin Khattab, ”Sesungguhnya aku melihat, bahwa Abdurrahman adalah orang yang berdosa karena dia tidak meninggalkan untuk keluarganya sesuatu apapun.” Maka bertanyalah Rasulullah kepadanya, ”Wahai Abdurrahman, apa yang telah engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Dia menjawab, ”Wahai Rasulullah, aku telah meninggalkan untuk mereka lebih banyak dan lebih baik dari yang telah aku infakkan.” ”Apa itu?” tanya Rasulullah. Abdurrahman menjawab, ”Apa yang dijanjikan oleh allah dan RasulNya berupa rizki dan kebaikan serta pahala yang banyak.”

Begitu pentingnya akhlak, sehingga sudah seharusnya menjadi fokus terpenting dalam pendidikan. Pembentukan akhlak ini tak bisa hanya dengan teori, tetapi butuh keteladanan dan konsistensi dari guru maupun orang tua.

Dalam pembelajaran kelas 4 SD, salah satu standar kompetensi dalam pembelajaran Pkn adalah mengenal sistem pemerintahan tingkat pusat. Anak di harusnya mengenal lembaga tinggi negara, yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi siswa kelas 4 SD, untuk tahu bahkan untuk memahaminya. Mungkin jauh lebih penting mengerti sistem ini setelah anak berusia 17 tahun karena dia sudah boleh mengikuti pemilu. Jauh lebih tepat jika dalam pembelajaran ini siswa diajak memahami karakter seorang pemimpin, membedah kepemimpinan Rasulullah dan sahabat, menanamkan karakter kepemimpinan, yang tegas, jujur, bertanggung jawab, rela berkorban, berani, percaya diri, mampu memecahkan masalah dll.

Pembelajaran tentang lingkungan hidup sudah diajarkan sejak kelas 1 SD, tetapi mengapa negeri ini memiliki masalah yang sangat serius yang berkaitan dengan sampah dan lingkungan hidup. Masih banyak orang yang dengan mudah membuang sampah sembarangan.

Pembelajaran tentang aturan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, sudah diajarkan sejak kelas 1 SD, tapi mengapa di jalan raya sepertinya semua mau lebih dahulu, sulit sekali untuk antri.
Kita harus sudah mulai merubah semuanya, kita harus mulai menata kembali fokus pendidikan kita, pembiasaan tentang budaya antri, tertib, tanggung jawab, disiplin, rela berkorban. Guru dan orang tua adalah elemen yang sangat penting, karena pendidikan bukan hanya disampaikan dengan lisan, tapi membutuhkan keteladanan. 

Ketika kita ingin membentuk karakter anak menjadi anak yang rapi, berikan contoh tentang rapi. Ketika kita ingin membentuk karakter berani, maka kita harus menujukkan keberanian yang sesungguhnya. Kalau kita takut, jangan tunjukkan ketakutan di depan anak-anak kita, karena anakpun akan merasa takut.
Evaluasi yang dilakukan seharusnya pun disesuaikan. Misalnya ketika kita bicara kejujuran, penilaian yang dilakukan bukan hanya dengan kemampuan menyelesaikan soal diatas kertas tentang kejujuran. Kita bisa melakukan pengamatan atas apa yang dilakukan oleh anak. Ketika kita memberi nilai 100 untuk soal tentang lingkungan bersih, kita harus juga mengamati apakah anak-anak terbiasa membuang sampah pada tempatnya? Apakah anak terbiasa mencuci tangan sebelum makan? Apakah anak terbiasa membersihkan lingkungan yang kotor?
Mengutip pernyataannya Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Faktanya makin banyak jumlah mata pelajaran dalam kurikulum anak-anak sekolah tidak akan membuat mereka menjadi lebih certas, melainkan hanya membuat mereka menjadi lebih stress!!!!
Sudah saatnya orang tua dan guru memberikan pembelajaran yang bermakna bagi anak-anak, karena hidup ini tidak selesai mengerjakan soal diatas kertas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar