Jumat, 03 Februari 2012

SEKOLAH ALAM UNTUK SIAPA?

“Bunda… ada teman saya mau memindahkan anaknya ke sekolah alam, apakah masih bisa ?” Memangnya kenapa anak teman ibu mau pindah?“ soalnya anaknya teman saya nggak bisa diam dan sulit konsentrasi, jadi kayaknya di sekolah alam lebih cocok deh.”

Suatu hari datang seorang ibu mengeluhkan tentang semangat belajar anaknya yang sangat kurang. “Bu… anak saya ini malas sekali sekolah, sehari sekolah lalu dua hari mogok sekolah, bisakah saya mencoba anak saya sekolah disini?” Mungkin cocok untuk anak saya.”

Dan banyak sekali pertanyaan mengenai sekolah alam. Pandangan sebagian besar orang tentang sekolah adalah tempat anak belajar yang berada di ruang kelas dengan berbagai fasilitasnya, dengan kursi dan meja yang berjajar. Saya jadi ingat beberapa pertanyaan orang saat melewati sekolah alam, “bu…. ini anak panti asuhan mana?” atau “bu…ini lagi rekreasi ya?” (beberapa pertanyaan saat SAT masih di Pesona laut) “Apa bisa belajar ya bu kalau begini?” Lalu saat membangun saung di gg. Kemandoran, “mau di buat gereja ya?” (karena bangunan saung jineng bali memang aneh buat masyarakat sekitar)

Sekolah alam dengan keunikannya memang terasa sangat berbeda, sehingga banyak sekali pertanyaan tentang sekolah alam. “Kalau anak nggak pakai seragam, apakah nanti nggak ada kesenjangan sosial?” Alhamdulillah sampai detik tidak terjadi kesenjangan sosial diantara siswa, bahkan mereka belajar saling menghormati dengan perbedaan dan keunikan masing-masing.” Itu baru dari sisi pakaian. “Kok main terus ya bu, kapan belajarnya?”
Bermain adalah kebutuhan asasi seorang anak. Karena dengan pengalaman bermainlah anak mendapat pembelajaran tentang hidup.

Saat mengenalkan tentang energi, anak-anak diajak bermain gatrik. Permainan ini mengajak anak untuk fokus dan konsentrasi untuk bisa mencapat target. Sekali mencoba gagal, dua kali mencoba, tiga kali, sampai selesai sehingga anak bisa. Setelah selesai bermain kita mengajak anak berdiskusi tentang kunci keberhasilan bermain gatrik dan di hubungkan dengan energi.

Pembelajaran IPA mengenai fungsi bagian tanaman bisa dilakukan dengan percobaan, tanaman yang berbunga di rendam dalam air berwarna dan didiamkan selama satu malam. Keesokan harinya anak-anak mengamati, dan mendiskusikan fungsi batang. Anak-anak menyimpulkan sendiri fungsi batang pada tanaman. Mereka menemukan sendiri bagaimana tanaman bisa menyerap air. Buku referensi di buka untuk mencocokkan hasil penelitian yang mereka lakukan.

Bermain congklak sangat bermanfaat karena konsep matematika sarat ada di dalamnya, penjumlahan, pengurangan, pembagian, perkalian, anak-anak yang mahir bermain congklak pasti memiliki kemampuan prediksi yang bagus. Semakin sering anak bermain, maka pola kerja otaknya akan membuat ia mudah memahami konsep-konsep matematika di masa mendatang.

Bermain benteng, permainan sosial mengenai konsep kebersamaan. Konflik yang terjadi saat bermain adalah  pembelajaran penting bagi anak. Anak belajar memecahkan masalah dengan teman. Anak bersosialisasi dengan teman lain. Dalam permainan ini juga anak belajar berstrategi dan bekerjasama.
Pembiasaan positif juga menjadi hal yang di tanamkan, hidup bersih di bangun dengan pembiasaan memilah sampah, hidup rapi dimulai dari kepedulian terhadap barang pribadi, sandal, sepatu, pakaian ganti, harus terletak pada tempat yang tersedia. Kemandirian anak di bangun dengan pembiasaan, membuka tempat makan, makan, berganti pakaian, dll.

Dalam sebuah aktifitas anak-anak merencanakan sebuah proyek yang akan di buat, anak memilih bahan sendiri, mewujudkan hasil karyanya sendiri. Disini terihat kemampuan berfikir anak. Ada anak yang memiliki kreativitas dan inisiatif tinggi, ada anak yang detail sekali dalam berfikir, ada anak yang bingung mewujudkan idenya, ada yang idenya selalu berubah-rubah. Dari kegiatan ini kita bisa melihat bagaimana cara berfikir anak.

Pertanyaan lain, “bagaimana tentang masalah akademiknya bun, apakah mengikuti dinas, apakah anak-anak bisa mengerjakan soal kalau nanti ujian?” Dalam UU Sisdiknas, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tapi pada kenyataannya adalah tujuan pendidikan adalah agar anak lulus ujian diatas kertas, dapat ijasah, dan dapat melamar pekerjaan.

Banyak sekolah lebih menitik beratkan anak hafal dengan berbagai pelajaran yang ada di buku, dan mengenyampingkan pemahaman anak. Sebaliknya, di sekolah alam, anak diajar berfikir dan memahami sehingga ia bisa menerapkan dalam hidupnya. Saat belajar anatomi tubuh manusia yang sebegitu lengkap harus di pahami sehingga anak mampu menjaga tubuh pemberian Allah, sehingga ia bukan hanya menghormati dirinya, tapi menghormati orang lain. Betapa banyak anak yang hafal anatomi mata, tapi ia tidak bisa menjaga pandangannya, betapa anak yang bisa mengerjakan soal tentang lidah tapi tidak bisa menjaga ucapannya, tidak memperhatikan makanan yang ia makan, dll.

Sekolah bukanlah tempat orang pintar, karena kalau sudah pintar tidak lagi perlu sekolah. Sekolah adalah tempat orang mau tahu, mau belajar. Oleh karena itulah kami tidak melakukan seleksi calistung atau seleksi apapun. Karena pendidikan usia dini yang kami lakukan selama ini lebih menekankan pada penyiapan anak untuk sekolah, sehingga yang lebih di tekankan adalah pencapaian kesiapan belajar. Alhamdulillah terlihat pada anak-anak di kelas 4, mereka terbiasa membaca literatur, memahaminya, berdiskusi dalam memecahkan masalah, dll. Tanpa di suruh oleh guru anak-anak belajar bekelompok “bun… pinjam buku perpustakaannya ya, soalnya besok libur hari sabtu kita mau mengerjakan home challenge bersama-sama.” Subhanallah… mereka bukan hanya bisa membaca tapi senang dan memahami bacaan. Yang saya kagumi lagi adalah cara berfikir kritis dan kreatif dalam diri mereka. Mereka rubah barang yang dianggap sampah menjadi berbagai mainan, berbagai barang kerajinan, dll.

Tahun ini kami menerima seorang anak tuna rungu. Kami semua belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan anak tersebut. Sampai datang suatu hari dengan sumringah bunda Ita (guru SD 1), “bun…. Vira bisa membaca suku kata, subhanallah saya senang sekali bu.” Bahkan gurunya pun selalu belajar....

Betapa panjang waktu sekolah di Indonesia, SD, SMP, SMA, S1 dst, dengan kurikulum yang full. Tapi yang miris adalah, tidak terbangunnya nilai-nilai sehingga ada masalah sedikit, di selesaikan dengan emosi, dengan fisik, tawuran, pukul-pukulan. Betapa banyak diantara kita yang belajar matematika, tapi tak sanggup menyelesaikan masalah dan mencari problem solving. Bahasa Indonesia bukan menjadi kebanggaan bahkan kalau kita berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita dianggap menjadi aneh. Betapa banyak buku IPA yang kita pelajari, tapi tidak terbangun sikap ilmiah.

Sudah saatnya kita rubah pemikiran kita tentang sekolah. Sekolah adalah tempat anak bermain, mengeksplorasi, meneliti, bersosialisasi, berkreativitas, menjadi penemu-penemu baru, melejitkan potensinya.
Seharusnya bukan hanya sekolah alam yang menerapkan ini, tetapi seluruh sekolah. Sekolah harus mengakomodir setiap potensi anak.

Sekolah alam adalah sekolah untuk semua…..
Dan Allah menciptakan alam semesta untuk kita belajar….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar