Selasa, 13 Maret 2012

SEKOLAH ALAM ? BELAJAR DI ALAM ATAU OLEH ALAM KITA BELAJAR ?

Berbagai permasalahan bangsa yang saat ini terjadi, tak lepas dari berbagai masalah pendidikan yang terjadi baik di rumah maupun sekolah. Kasus kekerasan baik kepada anak atau yang dilakukan oleh anak, narkoba, seks bebas, menjadi sebuah tamparan yang sangat keras yang harusnya menjadikan kita semua sadar bahwa ada yang salah dalam pendidikan kita. 
 
Berbagai metode terus di coba, kurikulum terus di rancang dan di perbaiki. Dimulai dari CBSA, KBK, dan saat ini Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberi keluasan kepada sekolah untuk merancang sendiri kurikulumnya. Sayangnya pemerintah masih “banci” dalam menerapkan kebijakan yang telah di buat. Sampai saat ini pemerintah masih bersikeras melaksanakan Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan siswa.

Masalah ini membuat orang mencoba mencari alternatif pendidikan lain. Banyak orang yang mulai memilih pendidikan alternatif seperti, home schooling, sekolah komunitas, maupun sekolah alam, yang tidak hanya memfokuskan pendidikan pada kapasitas pengetahuan saja, tapi juga akhlak dan life skill. Bahkan fenomena sekolah alam sudah mulai menjadi tren seperti jamur di musim hujan. 

Pertanyaan yang sering disampaikan oleh para orang tua adalah apa beda sekolah alam dengan sekolah biasa? Apakah sekolah di sebut sekolah alam jika kelasnya di saung-saung, ataukah yang di sebut sebagai sekolah alam jika ada area outboundnya? Apakah sekolah yang berada di tengah kota yang lahannya terbatas harus membuat saung-saung dan area outbound untuk di sebut sebagai sekolah alam?

Jika menilik dari kata sekolah, sekolah berasal dari kata Bahasa latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti : waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran di atas. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, mendirikan sekolah pertama yang dinamakan taman siswa, taman artinya tempat yang indah untuk bermain, siswa artinya murid. (Sumber Wikipedia).Kesimpulannya, sekolah adalah tempat bermain yang menyenangkan.

Alam sendiri berasal dari bahasa Arab, alam berasal dari akar kata alima-ya’lamu, berarti mengetahui. Dari akar kata ini terbentuk kata ‘alam yang artinya tanda, petunjuk, atau bendera; dan ‘alamah yang bermakna alamat atau sesuatu yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).

Jadi sekolah alam bisa di simpulkan sebagai tempat bermain yang menyenangkan dimana setiap anak bisa membaca tanda-tanda alam sebagai pengetahuan yang akan di terapkan dalam kehidupan.

Alam memberikan pembelajaran yang sangat penting kepada kita semua. Selama ini pembelajaran tentang alam hanya terkotak pada pembelajaran IPA atau science, padahal pembelajaran tentang ilmu sosial, matematika, ilmu bumi dan ilmu-ilmu lain Allah hamparkan di muka bumi ini, dengan syarat manusia mau berfikir.

Selama ini pendidikan sudah banyak dilakukan di alam, tapi banyak yang belum oleh alam. Banyak sekolah yang hanya memindahkan ruang kelas ke alam terbuka., tapi belum belajar dari alam.

Kita harus mampu membaca tanda-tanda ciptaan Allah mengapa kita di takdirkan untuk belajar disebuah tempat. Misalnya, ketika di sekitar tempat belajar kita terdapat sebuah dangau kecil dengan ikan-ikan kecil tandanya kita bisa belajar dari dangau kecil itu, yang di pelajari apa? Misalnya bagaimana ikan-ikan itu hidup, spesies apa yang ada di dangau itu, perkiraan jumlahnya, bagaimana memeliharanya, kapan ikan-ikan itu boleh di panen oleh manusia, dari mana sumber airnya, dan banyak lagi yang bisa di pelajari. Ketika lingkungan belajar adalah lingkungan pantai dengan nelayan sebagai pekerjaan utama yang bisa dilakukan seperti mempelajari ekosistem pantai beserta keterkaitan makhluk di dalamnya, belajar tentang jenis karang yang ada di pantai tersebut, belajar tentang jenis ikan, belajar membuat kapal, belajar membuat jaring, belajar tentang kehidupan nelayan, permasalahan nelayan, manajemen nelayan, dan lain sebagainya. Artinya seorang anak nelayan harus benar-benar belajar dari lingkungan nelayan.

Arus urbanisasi yang sangat kuat saat ini salah satu penyebabnya adalah, konsep kurikulum sekolah yang tidak sesuai dengan alam yang sudah di sediakan oleh Allah. Sekolah di desa yang sebagian mata pencaharian masyarakatnya petani, tidak mendalami ilmu pertanian. Bagaimana ekosistem di bangun di lahan pertanian sehingga hasil panen optimal dengan tidak merusak lingkungan. Mulok di sekolah lebih diarahkan ke industri di banding dengan pertanian. Anak-anak petani tak lagi bangga ia menjadi anak-anak pahlawan yang menyediakan pangan untuk manusia, anak-anak petani lebih suka dengan suasana kota yang penuh dengan teknologi modern dan gemerlap sehingga mereka berbondong-bondong meninggalkan desa untuk meraih impian di kota.

Sekolah seharusnya menjadi pusat perubahan, jika selama ini pendapatan sebagai petani kecil, bagaimana sekolah bisa merancang kurikulum agar siswa bisa menyelesaikan masalah ini. Anak seorang petani atau nelayan harus merasa bangga karena orang tua mereka berjasa dalam pemenuhan pangan di masyarakat dan bertekad untuk menjadi petani dan nelayan yang lebih baik dari orang tua mereka.

Bagaimana sekolah menjadi tempat bermain yang menyenangkan dan anak bisa menemukan banyak pengetahuan kalau sekolah terus di jejali dengan padatnya mata pelajaran dengan sekian banyak kompetensi yang harus di raih. Soichiro Honda pendiri perusahaan Honda Motor yang produknya kini merajai pasar mobil-mobil mewah di Amerika mengatakan “Sekolah terlalu banyak memberi apa yang saya tidak ingin ketahui, tapi justru sangat sedikit memberikan apa yang sungguh-sungguh saya ingin ketahui. Oleh karena itu saya hanya pergi kesekolah apa bila saya merasa ingin mengetahui sesuatu yang tidak saya temukan diluar sekolah."

Jika kita belajar dari sejarah. Kita tahu bahwa seorang newton menemukan konsep gaya gravitasi di bawah pohon apel. Seorang Archimedes, menemukan teori saat ia melompat di bak mandinya. Seorang Thomas Alfa Edison yang memiliki keterlambatan belajar saat sekolah dan sampai di keluarkan dari sekolah. Ia tetap belajar dan selalu ingin tahu dan keingin tahuannya berbuah hasil dengan banyaknya penemuan benda-benda seperti mendeteksi pesawat terbang, menghancurkan periskop dengan senjata mesin, mendeteksi kapal selam, menghentikan torpedo dengan jaring, menaikkan kekuatan torpedo, kapal kamuflase, dan masih banyak lagi.

Sekolah seharusnya menjadi tempat anak-anak melakukan eksplorasi sehingga ia bisa menjadi penemu-penemu yang tak kalah dari Archimedes, Newton, Thomas Alfa Edison, dan ilmuwan lainnya. Rasanya kita semua rindu lahirnya tokoh sekaliber Jabir Ibnu Hayyam, seorang ilmuwan muslim bukan hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tapi lebih dari itu beliau adalah orang yang menemukan ilmu kimia. Kita menginginkan lahir generasi yang seperti Al Khawarism yang menemukan algoritma dan juga ahli dalam bidang geografi dan astronomi.

Alam adalah ciptaan Allah yang luar biasa, Alam adalah sumber ilmu pengetahuan yang merupakan bekal bagi manusia. Biarkan alam yang memberikan pembelajaran kepada anak kita. Dan yang harus kita lakukan adalah mengikhlaskan diri kita untuk di bawa dalam rencana Allah. “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata," (QS. Huud. 7)

13 Maret 2012. 23.55 WIB
Penulis : Bunda Asih (Fasilitator Sekolah Alam Tangerang)

1 komentar: