Kamis, 08 Maret 2012

Generasi Baligh BELUM Aqil

“Generasi baligh BELUM aqil.” Di sebut generasi, karena di masyarakat kita pada khususnya, hampir semua mengalami ini. Aqil baligh berarti tanda bahwa setiap anak mulai bertanggung jawab dengan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT, mulai menerima kewajiban-kewajiban syariat dan harus lebih menjaga akhlak. yang pasti, dosa dan pahala akan ditanggung sendiri. Generasi baligh belum aqil adalah generasi dimana secara fisik anak-anak sudah baligh, tetapi secara kewajiban syari’at dan penerapan akhlak masih jauh dari penerapan.

Laki-laki dan perempuan yang sudah baligh memiliki kewajiban menaati aturan-aturan Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Perempuan sudah wajib berjilbab,laki-laki juga wajib menutupi auratnya. Sholat nggak boleh lagi bolong-bolong, wajib puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. Seorang yang sudah baligh berarti sudah memiliki buku catatan amal sendiri.

Rasulullah SAW bersabda Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Aqil artinya  orang yang berakal, yang dengan akalnya siap menyelesaikan masalah kehidupan.

Aqil baligh seharusnya satu paket, aqil adalah perangkat mental sedangkan baligh adalah perangkat fisik. Sayang perkembangan saat ini perangkat fisik lebih dulu tumbuh, sedangkan perangkat mental terlambat. Makanan yang bergizi, faktor lingkungan, dan tingkat kemakmuran, ditengarai menjadi penyebab menstruasi lebih dini. Anak-anak perempuan di kelas 4 saat ini sudah mulai banyak yang mengalami menstruasi, padahal dulu usia 11 sampai 12 tahun baru mengalami menstruasi.

Baligh menyebabkan nafsu bergejolak, jika tidak diikuti dengan aqil maka yang terjadi seperti fenomena yang kita lihat sekarang. Sekitar 39 persen anak baru gede (ABG) Indonesia pernah melakukan hubungan seksual. Hal ini didasarkan pada survey Lembaga swasta yang bergerak di bidang alat kesehatan pada Mei 2011. Survey tersebut dilakukan di lima kota besar Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Dari total 663 responden, sebanyak 462 orang mengaku pernah berhubungan intim. Ironinya, sebanyak 39 persen dari 462 responden yang mengaku pernah melakukan hubungan seks itu adalah ABG. Mereka berusia antara 15 sampai 19 tahun. Sedangkan, sebanyak 61 persen sisanya berusia 20 sampai 25 tahun (dikutip dari situs www.kabarindonesia.com).

Mengutip sebuah artikel di kompas, data Komnas Perlindungan Anak merilis jumlah tawuran pelajar tahun ini sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang. Tahun sebelumnya, jumlah tawuran antar-pelajar sebanyak 128 kasus.

Aqil baligh di tandai dengan pribadi yang matang dan dewasa. Pribadi yang matang adalah pribadi yang bertanggung jawab dan mandiri, ia mampu menghidupi minimal untuk dirinya sendiri. Banyak diantara anak-anak kita yang bahkan sudah S2 masih di subsidi oleh orang tua. Kalau kita melihat sosok Rasulullah SAW, Rasulullah, di usia 12 sampai 20 tahun beliau sudah mulai magang berdagang bersama pamannya Abu Thalib ke Syam. Di usia 12 tahun Nabi telah mandiri dan ikut mentoring dagang bersama Abu Thalib. Beliau keliling dari pasar ke pasar untuk melakukan perniagaan. Dalam usia yang relatif mudah beliau sudah ikut dalam peperangan Fijar untuk membantu kaumnya. Saat usia awal duapuluhan beliu sudah mendapat amanah mengelola harta orang lain. Salah satu amanah yang ditunaikan adalah mengelola perniagaan Khadijah. Subhanallah, diusia 20-an tahun beliau sudah sebagai profesional yang dipercaya mengelola harta orang lain.  Nabi menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. Dalam pernikahan itu mahar Nabi 20 ekor unta merah. Kalau kita bayangkan saat ini, barangkalai 20 BMW. Kalau kita hitung sederhana, misal per onta terbaik itu seharga 50 juta, maka maharnya untuk menikah sebesar 1 Miliar.
Keterlambatan proses aqil ini disebabkan berubahnya pola asuh orang tua. Kurangnya peran ayah dalam mendidik anak menyebabkan anak-anak mengalami keterlambatan  dalam aqil baligh. Ayah lebih cenderung untuk menyerahkan pendidikan kepada ibu. Nilai-nilai kematangan dan kedewasaan yang seharusnya di berikan oleh seorang ayah, tidak tersampaikan karena ayah sibuk mencari nafkah sehingga anak kehilangan kemampuan memimpin, baik memimpin dirinya maupun memimpin orang lain.

Hasil studi yang diadakan oleh Kyle D. Pruett. Menurut Pruett dalam bukunya Fatherneed: Why Father Care is as Essential as Mother Care for Your Child, manfaat keikutsertaan ayah dalam mendidik anak adalah sebagai berikut:
Pertama, hasil pendidikan anak menjadi lebih baik. Sejumlah studi menunjukkan bahwa ayah yang terlibat dalam mengasuh dan bermain-main dengan anak balita-nya akan meningkatkan kecerdasan (IQ), kemampuan bahasa dan kapasitas kognitif anak.

Kedua, anak akan lebih siap secara mental untuk menghadapi suasana sekolah. Anak akan lebih sabar dan lebih mampu mengatasi tekanan dan frustrasi yang ada hubungannya dengan kegiatan belajar di sekolah dibanding anak yang ayahnya kurang begitu peduli.

Ketiga, lebih stabil secara emosional. Ayah yang ikut melibatkan diri sejak anak lahir akan membuat emosi anak lebih stabil, lebih percaya diri untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Dan saat mereka tumbuh dewasa akan memiliki koneksi sosial dengan teman-temanya secara lebih baik. Juga kecil kemungkinan akan membuat masalah di rumah, sekolah atau lingkungan sekitar.

Keempat, anak dapat memasuki usia sekolah dengan lebih tenang dan kecil kemungkinan mengalami depresi, menampakkan perilaku disruptif atau berbohong. Anak juga lebih cenderung menampakkan sikap pro-sosial.
Kelima, anak laki-laki lebih cenderung tidak nakal di sekolah sedang anak perempuan cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih kuat. Di samping itu, sejumlah survei menyimpulkan bahwa anak yang dekat dengan ayahnya lebih mungkin memiliki kesehatan fisik dan kejiwaan yang baik. Performa di kelas lebih baik, dan cenderung terhindar dari kenakalan remaja seperti narkoba, kekerasan dan perilaku menyimpang lain.
Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 17.000 anak sekolah di Inggris oleh Universitas Oxford menghasilkan kesimpulan yang sama. Yakni, adanya hubungan yang relevan antara kedekatan ayah dengan keberhasilan akademis anak.

Sebuah penelitian lain yang diadakan oleh Univesitas Illinois, AS, menyimpulkan bahwa anak yang memiliki ayah yang peduli untuk meluangkan waktu untuk sekedar menanyakan pada anak tentang apa yang dipelajari di sekolah, menanyakan kegiatan sosial anak dan hubungannya dengan teman-temannya, akan cenderung memiliki performa dan pencapaian lebih baik di sekolah dibanding anak yang tidak mendapat perhatian serupa dari ayah mereka. Tentu, figur ayah tidak harus ayah kandung. Ayah angkat atau ayah tiri dapat memainkan peran yang sama.

Dengan demikian besarnya peran ayah dalam memengaruhi performa anak di berbagai bidang (kecerdasan, akademis, sosial dan perilaku), maka sudah waktunya bagi seorang ayah untuk memberi perhatian lebih pada perkembangan anak sejak dini dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan mereka. Selama ini, tidak sedikit ayah lebih terfokus pada pekerjaan dan memasrahkan urusan anak pada ibunya saat di rumah dan pada guru-gurunya saat di sekolah. (afatih.wordpress.com)

Sedangkan peran ibu tak kalah penting dengan peran ayah, “syurga di bawah telapak kaki ibu.” Yang maknanya di kaki ibulah terletak tanggung jawab besar dalam membuat jalan-jalan menuju syurga.  Sejak dalam kandungan seorang ibu di beri tanggung jawab oleh Allah untuk membangun jalan, membuat jejak langkah anak. Saat awal kehamilan biasanya ibu mengalami gangguan emosi, yang merupakan hal yang harus diatasi, karena jika emosi ini tak bisa dikendalikan yang akan berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Ibu yang tak tidak bahagia saat hamil, akan menyebabkan anak menjadi lebih sensitive.

Baligh berkaitan dengan nafsu, nafsu berkaitan dengan emosi, dan peran inilah yang seharusnya di bangun oleh seorang ibu. Ibu adalah pembangun kecerdasan emosi anak. Sejak dalam kandungan, emosi seorang ibu sudah terpaut dengan seorang anak. Ibu memiliki peran untuk membantu anak memahami dirinya. Ibu berperan dalam membangun rasa percaya diri anak, meyakinkan bahwa anak mampu. Ibu juga berperan dalam mengelola emosinya, sehingga tidak mudah meledak-ledak. Ibu harus menjadi sosok yang sabar sehingga menjadi panutan bagi anak-anaknya. Dan banyak lagi peran ibu yang merupakan tanggung jawab yang akan di pertanggung jawabkan di hadapan Allah kelak.

Generasi aqil baligh akan sangat bisa terwujud jika ayah dan ibu menjalankan perannya masing-masing. Karakter matang dan dewasa menjadi karakter yang di bentuk dalam sebuah keluarga. Sekolah hanya partner dalam mendidik, guru hanya caretaker yang menggantikan peran ayah dan ibu sementara waktu. Dan pendidik yang sesungguhnya adalah orang tuanya.

Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (Qs. Yusuf. 22)

Semoga bermanfaat.

Penulis : Asih Setiawuri, Fasilitator di Sekolah Alam Tangerang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar