Setiap warga
negara Indonesia wajib sekolah selama 9 tahun. Sangat banyak sekali anak-anak
bangsa yang bahkan sekolah sampai tingkat S1 bahkan S2 dan S3, yang membutuhkan
waktu bertahun-tahun.
Ketika orang
yang di tanya mengapa anda sekolah, pasti menjawab “supaya pandai.” Tapi apakah
kita sudah benar-benar pandai?
Berbagai
permasalahan bangsa yang dihadapi saat ini dari mulai masalah KKN, kemiskinan,
pertikaian, masalah moralitas dan akhlak dan lain sebagainya, seharusnya
membuat kita merenungi makna pendidikan yang kita lalui bertahun-tahun di
sekolah.
Anak-anak kita
sejak dini sudah mengalami beban yang sangat berat, dari mulai taman kanak-kanak
yang seharusnya dinikmati dengan bermain, sudah di bebani dengan drilling
calistung. Saat masuk SD, beban kurikulum semakin berat, seberat buku yang di
bawa di punggung. Pertanyaannya, apakah makna kepandaian adalah banyaknya
hafalan mata pelajaran yang di hafal?
Belajar dari
kehidupan Rasul kita, beliau adalah orang yang tidak bisa membaca. Tapi beliau
memiliki akhlak yang luar biasa, sejak kecil beliau sudah di kenal sebagai orang
yang jujur dan dapat di percaya. Artinya akhlak seharusnya menjadi fokus yang
paling terpenting dalam mendidik anak.
Dari
sahabat-sahabat Rasul, kita bisa belajar tentang makna kepandaian yang
dimiliki. Abdurahman bin Auf, seorang saudagar yang sukses sejak muda dan
beliau adalah orang yang rajin berinfak. Tatkala Rasulullah ingin melaksanakan
perang Tabuk. Yaitu sebuah peperangan yang membutuhkan banyak perbekalan. Maka
datanglah Abdurrahman bin ‘Auf dengan membawa dua ratus ‘uqiyah emas dan
menginfakkannya di jalan allah. Sehingga berkata Umar bin Khattab,
”Sesungguhnya aku melihat, bahwa Abdurrahman adalah orang yang berdosa karena
dia tidak meninggalkan untuk keluarganya sesuatu apapun.” Maka bertanyalah
Rasulullah kepadanya, ”Wahai Abdurrahman, apa yang telah engkau tinggalkan
untuk keluargamu?” Dia menjawab, ”Wahai Rasulullah, aku telah meninggalkan
untuk mereka lebih banyak dan lebih baik dari yang telah aku infakkan.” ”Apa
itu?” tanya Rasulullah. Abdurrahman menjawab, ”Apa yang dijanjikan oleh allah
dan RasulNya berupa rizki dan kebaikan serta pahala yang banyak.”
Begitu
pentingnya akhlak, sehingga sudah seharusnya menjadi fokus terpenting dalam
pendidikan. Pembentukan akhlak ini tak bisa hanya dengan teori, tetapi butuh
keteladanan dan konsistensi dari guru maupun orang tua.
Dalam pembelajaran
kelas 4 SD, salah satu standar kompetensi dalam pembelajaran Pkn adalah mengenal sistem pemerintahan tingkat pusat.
Anak di harusnya mengenal lembaga tinggi negara, yang sebenarnya tidak terlalu
penting bagi siswa kelas 4 SD, untuk tahu bahkan untuk memahaminya. Mungkin
jauh lebih penting mengerti sistem ini setelah anak berusia 17 tahun karena dia
sudah boleh mengikuti pemilu. Jauh lebih tepat jika dalam pembelajaran ini
siswa diajak memahami karakter seorang pemimpin, membedah kepemimpinan
Rasulullah dan sahabat, menanamkan karakter kepemimpinan, yang tegas, jujur,
bertanggung jawab, rela berkorban, berani, percaya diri, mampu memecahkan
masalah dll.
Pembelajaran
tentang lingkungan hidup sudah diajarkan sejak kelas 1 SD, tetapi mengapa
negeri ini memiliki masalah yang sangat serius yang berkaitan dengan sampah dan
lingkungan hidup. Masih banyak orang yang dengan mudah membuang sampah
sembarangan.
Pembelajaran
tentang aturan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, sudah diajarkan
sejak kelas 1 SD, tapi mengapa di jalan raya sepertinya semua mau lebih dahulu,
sulit sekali untuk antri.
Kita harus sudah
mulai merubah semuanya, kita harus mulai menata kembali fokus pendidikan kita,
pembiasaan tentang budaya antri, tertib, tanggung jawab, disiplin, rela
berkorban. Guru dan orang tua adalah elemen yang sangat penting, karena
pendidikan bukan hanya disampaikan dengan lisan, tapi membutuhkan keteladanan.
Ketika kita
ingin membentuk karakter anak menjadi anak yang rapi, berikan contoh tentang rapi.
Ketika kita ingin membentuk karakter berani, maka kita harus menujukkan
keberanian yang sesungguhnya. Kalau kita takut, jangan tunjukkan ketakutan di
depan anak-anak kita, karena anakpun akan merasa takut.
Evaluasi yang
dilakukan seharusnya pun disesuaikan. Misalnya ketika kita bicara kejujuran,
penilaian yang dilakukan bukan hanya dengan kemampuan menyelesaikan soal diatas
kertas tentang kejujuran. Kita bisa melakukan pengamatan atas apa yang
dilakukan oleh anak. Ketika kita memberi nilai 100 untuk soal tentang
lingkungan bersih, kita harus juga mengamati apakah anak-anak terbiasa membuang
sampah pada tempatnya? Apakah anak terbiasa mencuci tangan sebelum makan?
Apakah anak terbiasa membersihkan lingkungan yang kotor?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar