“Bunda… ada teman saya mau memindahkan anaknya ke sekolah alam,
apakah masih bisa ?” Memangnya kenapa anak teman ibu mau pindah?“
soalnya anaknya teman saya nggak bisa diam dan sulit konsentrasi, jadi
kayaknya di sekolah alam lebih cocok deh.”
Suatu hari
datang seorang ibu mengeluhkan tentang semangat belajar anaknya yang
sangat kurang. “Bu… anak saya ini malas sekali sekolah, sehari sekolah
lalu dua hari mogok sekolah, bisakah saya mencoba anak saya sekolah
disini?” Mungkin cocok untuk anak saya.”
Dan banyak sekali
pertanyaan mengenai sekolah alam. Pandangan sebagian besar orang
tentang sekolah adalah tempat anak belajar yang berada di ruang kelas
dengan berbagai fasilitasnya, dengan kursi dan meja yang berjajar. Saya
jadi ingat beberapa pertanyaan orang saat melewati sekolah alam, “bu….
ini anak panti asuhan mana?” atau “bu…ini lagi rekreasi ya?” (beberapa
pertanyaan saat SAT masih di Pesona laut) “Apa bisa belajar ya bu kalau
begini?” Lalu saat membangun saung di gg. Kemandoran, “mau di buat
gereja ya?” (karena bangunan saung jineng bali memang aneh buat
masyarakat sekitar)
Sekolah alam dengan keunikannya memang
terasa sangat berbeda, sehingga banyak sekali pertanyaan tentang
sekolah alam. “Kalau anak nggak pakai seragam, apakah nanti nggak ada
kesenjangan sosial?” Alhamdulillah sampai detik tidak terjadi
kesenjangan sosial diantara siswa, bahkan mereka belajar saling
menghormati dengan perbedaan dan keunikan masing-masing.” Itu baru dari
sisi pakaian. “Kok main terus ya bu, kapan belajarnya?”
Bermain adalah kebutuhan asasi seorang anak. Karena dengan pengalaman bermainlah anak mendapat pembelajaran tentang hidup.
Saat
mengenalkan tentang energi, anak-anak diajak bermain gatrik. Permainan
ini mengajak anak untuk fokus dan konsentrasi untuk bisa mencapat
target. Sekali mencoba gagal, dua kali mencoba, tiga kali, sampai
selesai sehingga anak bisa. Setelah selesai bermain kita mengajak anak
berdiskusi tentang kunci keberhasilan bermain gatrik dan di hubungkan
dengan energi.
Pembelajaran IPA mengenai fungsi bagian
tanaman bisa dilakukan dengan percobaan, tanaman yang berbunga di rendam
dalam air berwarna dan didiamkan selama satu malam. Keesokan harinya
anak-anak mengamati, dan mendiskusikan fungsi batang. Anak-anak
menyimpulkan sendiri fungsi batang pada tanaman. Mereka menemukan
sendiri bagaimana tanaman bisa menyerap air. Buku referensi di buka
untuk mencocokkan hasil penelitian yang mereka lakukan.
Bermain
congklak sangat bermanfaat karena konsep matematika sarat ada di
dalamnya, penjumlahan, pengurangan, pembagian, perkalian, anak-anak yang
mahir bermain congklak pasti memiliki kemampuan prediksi yang bagus.
Semakin sering anak bermain, maka pola kerja otaknya akan membuat ia
mudah memahami konsep-konsep matematika di masa mendatang.
Bermain
benteng, permainan sosial mengenai konsep kebersamaan. Konflik yang
terjadi saat bermain adalah pembelajaran penting bagi anak. Anak
belajar memecahkan masalah dengan teman. Anak bersosialisasi dengan
teman lain. Dalam permainan ini juga anak belajar berstrategi dan
bekerjasama.
Pembiasaan positif juga menjadi hal yang di tanamkan,
hidup bersih di bangun dengan pembiasaan memilah sampah, hidup rapi
dimulai dari kepedulian terhadap barang pribadi, sandal, sepatu, pakaian
ganti, harus terletak pada tempat yang tersedia. Kemandirian anak di
bangun dengan pembiasaan, membuka tempat makan, makan, berganti pakaian,
dll.
Dalam sebuah aktifitas anak-anak merencanakan sebuah
proyek yang akan di buat, anak memilih bahan sendiri, mewujudkan hasil
karyanya sendiri. Disini terihat kemampuan berfikir anak. Ada anak yang
memiliki kreativitas dan inisiatif tinggi, ada anak yang detail sekali
dalam berfikir, ada anak yang bingung mewujudkan idenya, ada yang idenya
selalu berubah-rubah. Dari kegiatan ini kita bisa melihat bagaimana
cara berfikir anak.
Pertanyaan lain, “bagaimana tentang
masalah akademiknya bun, apakah mengikuti dinas, apakah anak-anak bisa
mengerjakan soal kalau nanti ujian?” Dalam UU Sisdiknas, Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tapi pada kenyataannya adalah tujuan pendidikan adalah agar anak lulus
ujian diatas kertas, dapat ijasah, dan dapat melamar pekerjaan.
Banyak
sekolah lebih menitik beratkan anak hafal dengan berbagai pelajaran
yang ada di buku, dan mengenyampingkan pemahaman anak. Sebaliknya, di
sekolah alam, anak diajar berfikir dan memahami sehingga ia bisa
menerapkan dalam hidupnya. Saat belajar anatomi tubuh manusia yang
sebegitu lengkap harus di pahami sehingga anak mampu menjaga tubuh
pemberian Allah, sehingga ia bukan hanya menghormati dirinya, tapi
menghormati orang lain. Betapa banyak anak yang hafal anatomi mata, tapi
ia tidak bisa menjaga pandangannya, betapa anak yang bisa mengerjakan
soal tentang lidah tapi tidak bisa menjaga ucapannya, tidak
memperhatikan makanan yang ia makan, dll.
Sekolah bukanlah
tempat orang pintar, karena kalau sudah pintar tidak lagi perlu
sekolah. Sekolah adalah tempat orang mau tahu, mau belajar. Oleh karena
itulah kami tidak melakukan seleksi calistung atau seleksi apapun.
Karena pendidikan usia dini yang kami lakukan selama ini lebih
menekankan pada penyiapan anak untuk sekolah, sehingga yang lebih di
tekankan adalah pencapaian kesiapan belajar. Alhamdulillah terlihat pada
anak-anak di kelas 4, mereka terbiasa membaca literatur, memahaminya,
berdiskusi dalam memecahkan masalah, dll. Tanpa di suruh oleh guru
anak-anak belajar bekelompok “bun… pinjam buku perpustakaannya ya,
soalnya besok libur hari sabtu kita mau mengerjakan home challenge
bersama-sama.” Subhanallah… mereka bukan hanya bisa membaca tapi senang
dan memahami bacaan. Yang saya kagumi lagi adalah cara berfikir kritis
dan kreatif dalam diri mereka. Mereka rubah barang yang dianggap sampah
menjadi berbagai mainan, berbagai barang kerajinan, dll.
Tahun
ini kami menerima seorang anak tuna rungu. Kami semua belajar bagaimana
cara berkomunikasi dengan anak tersebut. Sampai datang suatu hari
dengan sumringah bunda Ita (guru SD 1), “bun…. Vira bisa membaca suku
kata, subhanallah saya senang sekali bu.” Bahkan gurunya pun selalu
belajar....
Betapa panjang waktu sekolah di Indonesia, SD,
SMP, SMA, S1 dst, dengan kurikulum yang full. Tapi yang miris adalah,
tidak terbangunnya nilai-nilai sehingga ada masalah sedikit, di
selesaikan dengan emosi, dengan fisik, tawuran, pukul-pukulan. Betapa
banyak diantara kita yang belajar matematika, tapi tak sanggup
menyelesaikan masalah dan mencari problem solving. Bahasa Indonesia
bukan menjadi kebanggaan bahkan kalau kita berbicara dengan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar, kita dianggap menjadi aneh. Betapa banyak
buku IPA yang kita pelajari, tapi tidak terbangun sikap ilmiah.
Sudah
saatnya kita rubah pemikiran kita tentang sekolah. Sekolah adalah
tempat anak bermain, mengeksplorasi, meneliti, bersosialisasi,
berkreativitas, menjadi penemu-penemu baru, melejitkan potensinya.
Seharusnya bukan hanya sekolah alam yang menerapkan ini, tetapi seluruh sekolah. Sekolah harus mengakomodir setiap potensi anak.
Sekolah alam adalah sekolah untuk semua…..
Dan Allah menciptakan alam semesta untuk kita belajar….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar