Berangkat pagi-pagi kesekolah,
meninggalkan keluarga, menghadapi kemacetan di jalan dan sampai di sekolah
berhadapan dengan anak-anak yang beragam tingkahnya. Mungkin tidak masalah
ketika bertemu dengan anak yang baik, anak yang penurut, anak yang pandai.
Tapi, jika bertemu anak yang senang protes, senang melanggar aturan, mengobrol
di kelas, rasanya ingin marah setiap hari.
Di sekolah seorang guru di
tuntut untuk profesional dalam pekerjaannya. Dimulai dari merancang
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menangani permasalahan anak,
berkomunikasi dengan orang tua, melakukan evaluasi, menuliskan raport, menjadi
teladan, terus belajar, dan segudang lagi tugas dan pekerjaan guru. Semua
sangat terasa berat, rasanya baru sampai kesekolah, ingin segera pulang. Dan
sangat bahagia ketika ada pengumuman libur tiba. Ketika di minta untuk belajar,
sebagian besar mengeluhkan kecilnya gaji yang di berikan. “Buat apa
capek-capek, gaji kita aja nggak naik-naik.”
Berat rasanya menjadi guru jika
kita melihat tuntutan kehidupan yang semakin besar. Keperluan hidup yang
semakin meningkat. Disisi lain penghasilan nggak seimbang dengan tuntutan
kehidupan.
Tapi pertanyaannya apakah
semata-mata materi yang ingin di kejar oleh seorang guru. Apakah hanya materi
yang berlimpah yang menjadi kunci kebahagiaan bagi seorang guru? Apakah kita
fikir, penghasilan yang di bawa guru setiap bulan berbanding lurus dengan
kinerja guru?
Program sertifikasi yang di
luncurkan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan kemampuan guru, ternyata
tidak banyak membuat guru terpacu untuk meningkatkan kinerjanya. Dan kwalitas
belajar mengajar di kelas tidak banyak berubah. Bahkan yang miris, jual beli
sertifikat (saat syarat sertifikasi adalah pengumpulan point dari sertifikat)
menjadi hal yang biasa. Kala itu seminar pendidikan marak dimana-mana, pertanyaan
sebelum mengikuti seminar tersebut adalah “ada sertifikatnya nggak?”
Hasil survei Bank Dunia tentang
kegiatan belajar mengajar pada 2011 di beberapa negara, termasuk Indonesia,
yang dirilis di Doha, Qatar, Kamis (15/11), menegaskan kegagalan program yang
telah berlangsung selama lima tahun tersebut. Hasil survei itu secara eksplisit
menyimpulkan program sertifikasi guru tidak mengubah kualitas kegiatan belajar
mengajar di kelas. Penguasaan siswa terhadap materi dan pelaksanaan
pembelajaran dengan pedagogi pun dilaporkan lemah. Kemampuan siswa menguasai
pelajaran setelah ada program sertifikasi masih sama dengan sebelum ada program
tersebut.
Di sebuah daerah yang
guru-gurunya cukup terjamin kesejahteraannya, tunjangan pemerintahnya cukup
besar pun tidak terlalu signifikan dalam peningkatan kemampuan guru jika di
bandingkan dengan daerah lain yang tunjangan dari pemerintahnya tidak besar
bahkan tidak ada. Masih banyak guru yang belum melek internet, masih banyak
guru yang sulit berubah dari pola mengajar lama, masih banyak guru yang tidak
memahami perkembangan anak, dan masih banyak guru yang tidak mau belajar.
Jadi jika mengaitkan penghasilan
dengan kinerja guru, rasanya tidak terlalu berhubungan. Di tempat lain, ada
guru-guru yang gajinya tidak besar, tetapi dedikasinya luar biasa. Kemauan
untuk belajarnya kuat, siap berubah dan lebih banyak bekerja di bandingkan
dengan menuntut.
Rasanya berat sekali ketika
bicara tentang keikhlasan. IKHLAS, satu kata dengan 6 huruf yang mudah di
ucapkan tetapi sulit di lakukan. Makna Ikhlas memiliki arti yang sangat dalam,
ialah penentu di terimanya amal perbuatan kita. Ikhlas membutuhkan perjuangan,
karena ikhlas adalah menyangkut hubungan kita dengan Allah. Ikhlas adalah
orientasi perbuatan kita hanya karena Allah.
Guru yang ikhlas adalah guru
yang mengorientasikan tugas-tugas mengajarnya sebagai bentuk ibadah karena
Allah. Saat merancang pembelajaran, diniatkan untuk merancang sebuah kebaikan.
Saat melaksanakan, melaksanakan sebuah kebaikan. Saat mengevaluasi,
mengevaluasi sebuah proses kebaikan.
Menjadi guru adalah profesi
mulia, yang di tangannyalah proses perubahan akan sebuah generasi. Jika ingin
melihat perubahan generasi di masa mendatang, lihatlah bagaimana guru mendidik
siswanya. Tugas utama guru pada dasarkan bukan mengajar, tapi lebih kepada
memotivasi agar siswa senang belajar, membangun rasa ingin tahu siswa,
membangun kemampuan analisa siswa, membangun kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah,dan membangun karakter siswa.
Pembangunan karakter sebuah
bangsa adalah tugas besar seorang guru. Sekolah seharusnya bukan hanya tempat
guru mentransfer ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu. Sekolah adalah rumah
kedua bagi siswa dalam pembentukan karakter. Kunci dari pembentukan karakter
adalah keteladanan. Sulit sekali menjadi teladan jika orientasi mengajar bukan
karena Allah.
Menjadi guru adalah amanah yang
berat. Di sanalah terbuka pintu syurga jika kita benar dalam mendidik, dan
disana pula terbuka pintu neraka jika kita salah mendidik. Allah sudah berikan anak-anak
kita dengan milyaran sel otak. Sel otak ini akan berhenti bekerja bahkan mati
saat dimarahi, di perintah-perintah seenaknya, maupun banyak larangan yang
seharusnya tidak jadi larangan. Sebaliknya, jika sel otak di bangun melalui
pembelajaran yang membangun rasa ingin tahu anak, memberikan anak kesempatan
berfikir dan memberi pendapat, menyelesaikan masalah dengan berbicara dan
berdiskusi, maka sel otak akan berkembang dengan pesat. Dan kelak kita akan di
tanya oleh Allah mengenai perkembangan sel otak anak ini. Apakah kita lebih
banyak mematikan sel otak anak atau membangunnya?
Mendidik adalah urusan
pendekatan hati, maka berdekatanlah kepada pemilik hati, memintalah pada
pemilik hati, memohonlah pada pemilik hati. Kedekatan hubungan kita dengan
Allahlah yang akan mempermudah kita untuk bekerja dengan ikhlas.
Bekerja karena Allah akan
mempermudah urusan kita dengan manusia. Niat bekerja karena Allah akan
melahirkan sikap totalitas dalam bekerja. Kita ingin memberikan amal yang
terbaik setiap waktunya.
Maka
Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu)
surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya.
Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas
keimanannya). (Qs. Al Maidah. 95)
Mimpikan
syurga ada di depan mata kita sehingga kita akan bekerja sebaik-baiknya. Syukuri
apa yang ada, menjadi kemudahan untuk menjadi ikhlas. Bersyukurlah dengan
keterbatasan, karena keterbatasan sesungguhnya peluang amal agar kita bisa
lebih kreatif.
Allah
akan menambah nikmat kita jika kita menjadi orang yang bersyukur. Bersyukur
karena nikmat Allah begitu banyak dengan bekerja sebaik-baiknya.
Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat -Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
(Qs.
Ibrahim. 7).
Menjaga
keikhlasan di mulai dengan senantiasa memperbaharui niat kita. Yakinlah Allah
akan memberikan rizki yang cukup bagi kita, Allah akan mempermudah kita
mendidik anak-anak kita di rumah, Allah akan memberikan kesehatan kepada kita
yang semuanya tak bisa dihitung dengan angka.
Jika
kita bahagia menjadi guru karena keikhlasan kepada Allah, maka akan jauh lebih
mudah bagi kita untuk mendidik anak-anak dengan keteladanan. Bagilah semangat
ikhlas kepada lingkungan guru di sekitar kita,karena spirit ikhlas akan akan
melahirkan semangat mendidik yang luar biasa. Sebaliknya jika kita tidak
membangun ini maka, kesulitan yang kita hadapi, keterbatasan yang selalu hadir
akan selalu menganggu keikhlasan.
Ketidak
ikhlasan biasanya hadir ketika kita sedang lelah, resah, banyak amanah, banyak
masalah, maka disaat itulah sesungguhnya kita seharusnya mendekat kepada Allah.
Karena Allahlah tempat kita memohon dan meminta. Karena Allahlah yang akan
mengabulkan setiap permohonan kita.
Dan
katakanlah, bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga
Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang Mengetahui yang ghaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan.
(QS. At Taubah: 105)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar